::: Simak berbagai info PK IPNU-IPPNU UIN Maliki melalui media sosial Facebook (pkpt ipnu ippnu uin malang), Instagram (@ipnuippnu_uin) :::: untuk mekanisme pengiriman berita ataupun artikel, akan diumumkan secepatnya"
Selamat Datang di Portal PK IPNU IPPNU UIN Malang
Belajar, Berjuang, Bertaqwa
Karena IPNU-IPPNU, maka aku ada
Pengukuhan Forum Koordinasi IPNU UIN Malang
Pengukuhan Forum Koordinasi IPPNU UIN Malang
Pimpinan Pusat IPNU Luncurkan Logo Harlah Ke-63

Menjaga Adab di Era Digital: Refleksi Santri atas Kasus Lirboyo dan Media Televisi

 

Sumber Gambar: Jurnalzone.id

Beberapa hari terakhir, jagat maya ramai dengan kabar tentang tayangan salah satu stasiun televisi nasional yang menyinggung Kiai dan Pesantren Lirboyo. Bagi banyak santri, mendengar nama “Lirboyo” saja sudah seperti menyebut rumah besar yang menaungi ilmu, adab, dan keberkahan. Maka wajar, ketika pesantren itu disebut dengan nada yang dianggap merendahkan, hati santri di mana pun ikut panas. Tapi di balik amarah yang muncul, ada satu hal yang seharusnya kita renungkan: tentang bagaimana adab terhadap guru dan ulama sedang diuji di zaman yang serba terbuka ini.

Sebagai santri, kita tumbuh dalam suasana yang mengajarkan pentingnya menghormati guru. Di pesantren, adab selalu didahulukan sebelum ilmu. Kita belajar bagaimana bersikap di depan kiai, mendengarkan dengan tenang, dan menjaga sikap agar ilmu yang diterima membawa berkah. Kiai bukan hanya sosok pengajar, tapi juga teladan kehidupan. Maka, ketika media menggambarkan sosok kiai dengan cara yang keliru, rasa kecewa itu muncul bukan semata karena reputasi pesantren yang diserang, tapi karena nilai-nilai adab yang selama ini dijaga dengan tulus ikut ternodai.

Kita tahu, di era digital, semua orang bisa menjadi ‘wartawan’, semua bisa berkomentar, dan semua bisa menyebarkan. Tapi di situ pula ujian terbesar muncul — bukan pada kecerdasan, melainkan pada akhlak. Betapa sering kita melihat orang merasa bebas berbicara tentang siapa pun, tanpa pikir panjang. Ulama dijadikan bahan candaan, ajaran agama dipelintir jadi konten lucu, dan pesantren dianggap tempat ‘unik’ yang bisa dijadikan tontonan. Padahal, di balik dinding sederhana pesantren, ada perjuangan panjang, ada ketulusan yang tidak ditayangkan kamera.

Kasus Trans7 kemarin bukan sekadar tentang kesalahan media, tapi tentang hilangnya rasa hormat. Mungkin yang dimaksudkan adalah sebagai hiburan, mungkin juga tidak ada maksud buruk, tapi di mata santri, tayangan itu seperti luka. Karena bagi kami, adab kepada kiai bukan hanya sopan santun, tapi bagian dari keyakinan bahwa ilmu harus disertai penghormatan. Imam Malik pernah berkata, “Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.” (dikutip dari muslim.or.id). Artinya, tanpa adab, ilmu tak akan bermanfaat. Maka bagaimana mungkin adab kepada guru bisa dipermainkan atas nama ‘kebebasan berekspresi’?

Namun, marah saja tidak cukup. Sebagai santri, kita juga harus menunjukkan bagaimana cara menyikapi hal seperti ini dengan bijak. Rasulullah bersabda, “Orang yang kuat bukanlah orang jago dalam bergulat dan berkelahi, namun orang yang kuat adalah orang mampu mengendalikan dirinya ketika sedang marah.” (HR. Bukhari, dikutip dari markazsunnah.com). Kita boleh kecewa, tapi jangan sampai kehilangan akhlak. Tugas kita bukan membalas, tapi memperbaiki — dengan cara menampilkan wajah pesantren yang sesungguhnya: tenang, berilmu, dan beradab.

Kita perlu sadari, media hanyalah cermin. Kalau cermin itu kotor, bukan berarti wajah kita yang buruk. Maka yang perlu dibersihkan adalah pemahaman publik. Mari tunjukkan bahwa pesantren bukan tempat yang kolot, tapi benteng moral bangsa. Bahwa kiai bukan sosok yang harus dihakimi, tapi guru yang patut dihormati. Dan bahwa santri bukan sekadar murid, tapi pewaris nilai-nilai luhur yang menuntun masyarakat di tengah gempuran modernitas.

Di era media sosial, mungkin menjadi viral adalah ukuran penting. Tapi bagi santri, yang lebih penting adalah berkah. Karena tidak semua yang ramai membawa manfaat. Kadang, hal kecil yang dilakukan dengan niat baik justru lebih berarti. Jadi, daripada sibuk membalas dengan emosi, lebih baik kita tetap tenang dan terus berbuat baik sesuai cara kita.

Kasus ini juga mengingatkan kita bahwa menjaga adab bukan hanya tugas santri, tapi tugas semua orang. Media harus belajar untuk tidak sekadar “mengejar rating”, tapi juga menjaga nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Karena di negeri ini, ulama bukan hanya pengajar agama, tapi juga sosok yang menuntun masyarakat dengan keteladanan. Kalau adab terhadap ulama hilang, jangan heran kalau keberkahan pun ikut menjauh.

Akhirnya, dari pesantren kita belajar satu hal penting: tidak semua hal harus dibalas dengan kata-kata. Kadang, cukup dengan sikap yang tenang dan perbuatan yang baik. Santri hari ini punya tugas besar, bukan hanya mengaji kitab, tapi juga menjaga marwah pesantren di tengah dunia yang serba terbuka. Kehadiran kita di ruang digital seharusnya bukan untuk marah-marah, tapi untuk menunjukkan nilai yang sesungguhnya dari pesantren — ketulusan, adab, dan keteladanan.

Semoga peristiwa ini menjadi pelajaran bagi semua pihak. Bagi media, agar lebih berhati-hati dalam menulis dan mewartakan. Bagi masyarakat, agar tidak cepat menilai tanpa mengenal. Dan bagi santri, agar semakin kuat menegakkan nilai ta’dzim — bukan hanya kepada kiai, tapi juga kepada siapa pun yang membawa ilmu dan kebaikan. Karena sesungguhnya, di zaman yang serba cepat ini, menjaga adab adalah bentuk jihad yang paling berat.

Oleh: Siti Ma’rifatul Musa’adah

Editor: Keysha Alea

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to " Menjaga Adab di Era Digital: Refleksi Santri atas Kasus Lirboyo dan Media Televisi "

Posting Komentar