Menjaga Adab di Era Digital: Refleksi Santri atas Kasus Lirboyo dan Media Televisi
Beberapa hari terakhir, jagat maya ramai dengan kabar tentang
tayangan salah satu stasiun televisi nasional yang menyinggung Kiai dan
Pesantren Lirboyo. Bagi banyak santri, mendengar nama “Lirboyo” saja sudah
seperti menyebut rumah besar yang menaungi ilmu, adab, dan keberkahan. Maka
wajar, ketika pesantren itu disebut dengan nada yang dianggap merendahkan, hati
santri di mana pun ikut panas. Tapi di balik amarah yang muncul, ada satu hal
yang seharusnya kita renungkan: tentang bagaimana adab terhadap guru dan ulama
sedang diuji di zaman yang serba terbuka ini.
Sebagai santri, kita tumbuh dalam suasana yang mengajarkan
pentingnya menghormati guru. Di pesantren, adab selalu didahulukan sebelum
ilmu. Kita belajar bagaimana bersikap di depan kiai, mendengarkan dengan
tenang, dan menjaga sikap agar ilmu yang diterima membawa berkah. Kiai bukan
hanya sosok pengajar, tapi juga teladan kehidupan. Maka, ketika media
menggambarkan sosok kiai dengan cara yang keliru, rasa kecewa itu muncul bukan
semata karena reputasi pesantren yang diserang, tapi karena nilai-nilai adab
yang selama ini dijaga dengan tulus ikut ternodai.
Kita tahu, di era digital, semua orang bisa menjadi ‘wartawan’,
semua bisa berkomentar, dan semua bisa menyebarkan. Tapi di situ pula ujian
terbesar muncul — bukan pada kecerdasan, melainkan pada akhlak. Betapa sering
kita melihat orang merasa bebas berbicara tentang siapa pun, tanpa pikir
panjang. Ulama dijadikan bahan candaan, ajaran agama dipelintir jadi konten
lucu, dan pesantren dianggap tempat ‘unik’ yang bisa dijadikan tontonan.
Padahal, di balik dinding sederhana pesantren, ada perjuangan panjang, ada
ketulusan yang tidak ditayangkan kamera.
Kasus Trans7 kemarin bukan sekadar tentang kesalahan media, tapi
tentang hilangnya rasa hormat. Mungkin yang dimaksudkan adalah sebagai
hiburan, mungkin juga tidak ada maksud buruk, tapi di mata santri, tayangan itu
seperti luka. Karena bagi kami, adab kepada kiai bukan hanya sopan santun, tapi
bagian dari keyakinan bahwa ilmu harus disertai penghormatan. Imam Malik pernah
berkata, “Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.” (dikutip
dari muslim.or.id). Artinya, tanpa adab, ilmu tak akan bermanfaat. Maka
bagaimana mungkin adab kepada guru bisa dipermainkan atas nama ‘kebebasan
berekspresi’?
Namun, marah saja tidak cukup. Sebagai santri, kita juga harus
menunjukkan bagaimana cara menyikapi hal seperti ini dengan bijak. Rasulullah ﷺ bersabda, “Orang yang kuat bukanlah
orang jago dalam bergulat dan berkelahi, namun orang yang kuat adalah orang
mampu mengendalikan dirinya ketika sedang marah.” (HR. Bukhari, dikutip
dari markazsunnah.com). Kita boleh kecewa, tapi jangan sampai kehilangan
akhlak. Tugas kita bukan membalas, tapi memperbaiki — dengan cara menampilkan
wajah pesantren yang sesungguhnya: tenang, berilmu, dan beradab.
Kita perlu sadari, media hanyalah cermin. Kalau cermin itu kotor,
bukan berarti wajah kita yang buruk. Maka yang perlu dibersihkan adalah
pemahaman publik. Mari tunjukkan bahwa pesantren bukan tempat yang kolot, tapi
benteng moral bangsa. Bahwa kiai bukan sosok yang harus dihakimi, tapi guru
yang patut dihormati. Dan bahwa santri bukan sekadar murid, tapi pewaris
nilai-nilai luhur yang menuntun masyarakat di tengah gempuran modernitas.
Di era media sosial, mungkin menjadi viral adalah ukuran penting.
Tapi bagi santri, yang lebih penting adalah berkah. Karena tidak semua
yang ramai membawa manfaat. Kadang, hal kecil yang dilakukan dengan niat baik
justru lebih berarti. Jadi, daripada sibuk membalas dengan emosi, lebih baik
kita tetap tenang dan terus berbuat baik sesuai cara kita.
Kasus ini juga mengingatkan kita bahwa menjaga adab bukan hanya
tugas santri, tapi tugas semua orang. Media harus belajar untuk tidak sekadar
“mengejar rating”, tapi juga menjaga nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
Karena di negeri ini, ulama bukan hanya pengajar agama, tapi juga sosok yang
menuntun masyarakat dengan keteladanan. Kalau adab terhadap ulama hilang,
jangan heran kalau keberkahan pun ikut menjauh.
Akhirnya, dari pesantren kita belajar satu hal penting: tidak semua
hal harus dibalas dengan kata-kata. Kadang, cukup dengan sikap yang tenang dan
perbuatan yang baik. Santri hari ini punya tugas besar, bukan hanya mengaji
kitab, tapi juga menjaga marwah pesantren di tengah dunia yang serba terbuka.
Kehadiran kita di ruang digital seharusnya bukan untuk marah-marah, tapi untuk
menunjukkan nilai yang sesungguhnya dari pesantren — ketulusan, adab, dan
keteladanan.
Semoga peristiwa ini menjadi pelajaran bagi semua pihak. Bagi media, agar lebih berhati-hati dalam menulis dan mewartakan. Bagi masyarakat, agar tidak cepat menilai tanpa mengenal. Dan bagi santri, agar semakin kuat menegakkan nilai ta’dzim — bukan hanya kepada kiai, tapi juga kepada siapa pun yang membawa ilmu dan kebaikan. Karena sesungguhnya, di zaman yang serba cepat ini, menjaga adab adalah bentuk jihad yang paling berat.
Oleh:
Siti Ma’rifatul Musa’adah
Editor:
Keysha Alea
0 Response to " Menjaga Adab di Era Digital: Refleksi Santri atas Kasus Lirboyo dan Media Televisi "
Posting Komentar