Hening Ditengah Krisis: Minimnya Respons Pelajar Nahdlatul Ulama Terhadap Isu Ekologis Indonesia
Sumber Gambar: Tempo.co
Tulisan
ini merupakan refleksi saya sebagai pelajar yang tergabung dalam Ikatan Pelajar
Nahdlatul Ulama (IPNU), berangkat dari pemahaman ilmiah dan didukung data yang
dapat dipertanggungjawabkan. Meski saya bukan tokoh struktural besar di IPNU,
itu tidak membuat saya diam. Justru saya terdorong untuk bersuara, terutama
terkait isu ekologis yang melanda Ibu Pertiwi.
Akhir-akhir
ini, beredar sebuah berita yang mengangkat isu ekologis di Papua, tepatnya di
daerah Kabupaten Raja Ampat, di Pulau GAG. Saya bertanya-tanya, mengapa pelajar
NU begitu diam terhadap isu ini? Apakah karena salah satu tokoh NU menjadi
komisaris di perusahaan tambang tersebut, sehingga membuat mereka enggan
bersuara? Bisa jadi juga karena lunturnya sikap kritis, pasifnya pelajar, atau
karena mereka terlena oleh kenyamanan hidup modern. Semua ini menunjukkan bahwa
pelajar NU saat ini mulai kehilangan daya kritis dan peran aktif yang dulu
lekat dengan NU. Padahal Indonesia adalah negara demokrasi, di mana warganya
bebas menyuarakan pendapat. NU sebagai ormas Islam terbesar sudah seharusnya
aktif dalam dinamika bangsa dan ikut membawa perubahan positif.
Jika
menilik kembali pada Tahun 2023, Majelis Ulama Indonesia pernah mengeluarkan
fatwa tentang “Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global”, yang menegaskan
bahwa perusakan lingkungan seperti penggundulan hutan atau pembakaran lahan yang berlebihan adalah haram. NU sendiri melalui muktamar ke-33 tahun 2015 juga melarang
eksploitasi alam secara berlebihan. Keputusan itu menolak monopoli dan kartel
pengelolaan SDA karena bertentangan dengan syariat dan konstitusi. Sayangnya,
semangat tersebut tak sejalan dengan kondisi saat ini. Fatwa dan keputusan
muktamar harusnya dijalankan, bukan sekadar jadi dokumen simbolis.
Sesekali,
saya merasa heran kepada mereka yang kerap mengagung-agungkan pernyataan dari
K.H Hasyim Asy’ari yang berbunyi, “Siapa yang mau mengurusi Nahdlatul Ulama,
saya anggap ia santriku. Siapa yang jadi santriku, saya do’akan husnul khotimah
beserta anak cucunya.” Tapi bagaimana mereka mengartikan kalimat itu? Kalau
sungguh ingin mengurus NU, maka pelajar juga harus mengembalikan peran aktif NU
di masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan bersikap kritis dan menjaga
eksistensi NU sebagai organisasi yang ikut memperjuangkan kemajuan bangsa.
Pelajar NU tak boleh diam melihat tindakan yang merusak bangsa dan kehidupan
masyarakat.
KH.
Hasyim Asy'ari menerapkan teologi antroposentris, seperti yang dikembangkan
Hasan Hanafi. Baginya, agama tak hanya soal hubungan dengan Tuhan, tapi juga
harus memberi manfaat nyata bagi masyarakat. Ini beliau buktikan lewat
pendirian Pesantren Tebuireng dan pembentukan Persyarikatan Pedagang. Sebagai
pelajar NU masa kini, kita pun harus ikut menyuarakan dan memberi masukan
terhadap isu besar seperti kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM. Ini bentuk
kontribusi sosial dan wujud nyata dari nilai Islam.
Trilogi
Gerakan "Belajar, Berjuang, Bertaqwa" perlu dimaknai dan diterapkan,
bukan hanya jadi slogan. Pelajar NU harus mampu menunjukkan ilmu dan sikap
kritisnya dalam kehidupan sehari-hari. Ini bukan soal ‘ingin terlihat’, tapi tentang
tanggung jawab moral dan kontribusi bagi masyarakat. Lalu, apa kaitannya dengan
isu ekologis? Ilmu, baik sains, sosial, maupun agama, harus diwujudkan dalam
tindakan nyata untuk menjawab krisis lingkungan. Diam terhadap krisis berarti
menyembunyikan ilmu. Dalam Islam, menyembunyikan ilmu adalah dosa, karena ilmu
adalah amanah yang harus dimanfaatkan demi umat dan lingkungan.
Sekali
lagi, mari kita tarik kembali benang sejarah sejenak. IPNU dan IPPNU yang
didirikan Kyai Tholhah Mansur dan Nyai Umroh Mahfudhoh bukan hanya wadah
organisasi, tetapi ruang kaderisasi. Tujuannya untuk mendidik pelajar agar
cerdas, berakhlak, dan siap berkontribusi dalam kehidupan sosial dan keagamaan.
Semangat ini sangat relevan dengan isu ekologis. Pelajar NU harus jadi pelopor
dalam edukasi lingkungan, menjaga alam, dan mengkritisi perusakan. Ini bukan
sekadar ajakan moral, tapi juga amanah keagamaan.
Ahmad
Rahma Wardhana, Nahdliyin dan peneliti dari UGM, menegaskan pentingnya empati
terhadap masyarakat di sekitar tambang. Mereka yang tinggal jauh dari lokasi
tambang mungkin menikmati hasilnya, tapi masyarakat di sana merasakan langsung
kerusakan: tanah rusak, air dan udara tercemar, jalan hancur, bahkan munculnya
praktik prostitusi. Pertambangan memang menguntungkan secara ekonomi, tapi
dampaknya nyata dan sering diabaikan. Maka, warga NU yang punya akses
pendidikan dan ruang publik harus berperan aktif dalam advokasi dan
pendampingan masyarakat terdampak. Membela lingkungan berarti membela hak
hidup, bagian dari nilai kemanusiaan dan keislaman.
Ingatlah,
ini adalah tanah air kita, juga tanah air mereka. Di sini kita semua bukan
turis. Kita semua, pelajar
NU punya tanggung jawab bersama menjaga lingkungan. Karena ide tak akan tumbuh
di tanah yang rusak. Sekarang saatnya bersuara dan berperan. Diam bukan lagi
pilihan di tengah krisis. Mari saling menguatkan dalam perjuangan menjaga bumi
dan kemanusiaan.
وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ اَشْيَاۤءَهُمْ وَلَا
تَعْثَوْا فِى الْاَرْضِ مُفْسِدِيْنَۚ ١٨٣
“Dan janganlah kamu
merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu melewati batas di muka
bumi dengan membuat kerusakan.”
(QS. Asy-Syu’ara : 183)
Oleh: Muhammad Raihan Naufal Ash Shidiqy
(Lembaga Pers dan Jurnalistik FK IPNU-IPPNU K.H. Wahab Chasbullah 2025-2026)
0 Response to " Hening Ditengah Krisis: Minimnya Respons Pelajar Nahdlatul Ulama Terhadap Isu Ekologis Indonesia "
Posting Komentar